News Update :

Tahlilan Kok Dibilang Bid'ah, Ayak-ayak wae ...

Pada postingan kali ini sedikit akan kita bahas tentang kajian LPK tadi di Masjid Klenggotan Srimulyo, dengan pembicara Ustadz Misbahul Munir. Ya, mungkin ga persis-persis amat, namanya juga ga nyatat, cuma mengingat saja apa yang tadi disampaikan mengenai hukum Tahlilan, Bershidaqoh atau berkirim doa untuk mayat yang sudah meninggal. Sebenarnya pahalanya sampai atau tidak ya ? Kalau menurut penulis sih sampai(tanpa mengutip satu hadits pun) dan bisa dibuktikan. Caranya ? Teman-teman yang muslim yang mengatakan pahalanya tidak sampai, ntar request ke aku, cukup nama lengkap saja, terus kalian meninggal dengan tenang tanpa bunuh diri. Nah, ntar aku bacakan surat yasiin 1 kali atau Al Ikhlas 3 kali untuk kalian, nah ntar kalau pahalanya sampai kalian tinggal SMS saja ke aku. Nah kalau ga sampai, kalian boleh kembali lagi ke dunia (tapi kalau diperbolehkan lho ) dan kita lanjutkan berdebatnya ... wkwkwk.

Memang namanya khilafiah memang kalau dibahas emang tidak ada habisnya, ntar malah perang ayat lagi. Tapi biar saja dari pada perang BOM. Yang penting kepala tetap dingin, hidup tetap rukun karena sesama muslim kan ? Tapi secara ilmiah marilah kita coba kaji bersama. Nah ini ada artikel yang cukup bagus menurutku dan saya kira ga jauh-jauh amat dengan yang disampaikan Pak Ustad tadi. yuk kita baca :

Pandangan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah terhadap suatu amalan baru

Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97).

Mazhab Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Di dalam memutuskan suatu masalah, tentu kita tidak dapat memutuskan dengan cepat. Kita (ASWAJA) harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut dengan menyandarkan kepada:

1. Al-Qur’an

2. Al Hadist (sunnah)

3. Al-Ijma’

4. Al-Qiyas

Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.

Al-Hadits/Sunnah

Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah saw. Adalah insan yang paling berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah Rasulullah saw. menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an.

Al-Ijma’

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

Kemudian ijma’ ada 2 macam :

1. Ijma’ Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.

2. Ijma’ Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Contoh untuk Ijma’ Sukuti adalah di adakannya adzan dua kali untuk sholat Jum’at, yang di prakarsai oleh sahabat Ustman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau r.a. tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.

Al-Qiyas

Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.

Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab.

Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.

Ke 4 sumber hukum diatas (Al Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas) telah disepakai secara bulat oleh para Imam pendiri mazhab, antara lain Al Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shahih (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita tidak dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil-dalil yang jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas.

Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah-tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram.

Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.

Langkah yang di ambil dari sahabat Mu’adz r.a. di atas dapat kita jadikan pedoman dalam mengambil suatu langkah-langkah hukum agama apabila kita melihat dan mendapati amalan baru-baru yang berkembang di masyarakat.

Adapun langkah-langkah pertimbangannya dalam menentukan suatu hukum atas amalan baru adalah sebagai berikut;

1. Kita melihat apakah perbuatan tersebut ada perintahnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah?

2. Apabila perbuatan tersebut, tidak ada perintahnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut?

3. Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut tidak ada dan juga larangannya, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, kita tinjau kembali; apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama?

4. Kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada madlaratnya (bahayanya) terhadap agama?

Sebagai contoh dari tradisi muslim yang mulia ini adalah yang sering kita sebut dengan nama TAHLILAN/YASINAN. Majelis yang mulia ini sering kita laksanakan / lakukan ketika ada seorang kerabat / keluarga atau tetangga yang meninggal dunia dengan mengadakan doa bersama untuk orang meninggal tersebut, yana mana biasanya dilakukan pada malam ke 1,2,3, 5 ataupun malam ke 7 atau HAUL yang biasa dilaksanakan setahun sekali.

Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu La ilaha illa Allah”. Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah Thayyibah.

Pada hakikatnya majelis TAHLIL/YASINAN atau HAUL adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara yang di dalam terdapat rangkaian dzikir (membaca Al-Qur’an) dan berdoa serta bermunajat bersama. Majelis ini dapat juga kita simpulkan: Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul Husna, shalawat, mengirim doa bagi arwah yang meninggal dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir lainnya, hanya istilah dan nama atau kemasannya saja yang berbeda dengan zaman salaf terdahulu namun hakikat serta intinya sama, yakni Dzikrullah (berdzikir kepada Allah).

Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa merupakan inti dari ibadah dan dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan oleh seorang mukmin itu adalah doa.

Tahlil adalah tradisi dari generasi salaf dan pada mulanya dikenalkan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam / wali di tanah Jawa) ketika mereka berhijrah ke Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo (9 Wali) yang berasal dari Hadramaut - Yaman. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.


Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islami. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka (masyarakat setempat) bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum era Wali Songo.

KH Sahal Mahfud, seorang ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Bila asal mula tradisi Tahlil tersebut dikatakan merupakan adat orang hindu, maka sebaiknya kita berfikir bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasulullah saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasulullah saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka bersyukur atas selamatnya Musa as, dan Rasulullah saw bersabda : “Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)

Namun sayang beberapa dekade terakhir, majelis yang di muliakan oleh Allah SWT ini mendapat “serangan & pertentangan” dari kelompok yang memungkiri jaiz nya majelis ini dan mengakui bahwa Islam pada dirinya paling benar dengan KEDOK / DALIL PEMURNIAN TAUHID (Agama), maka Majelis Tahlil ini di CAP sebagai sebutan ritual Bid’ah dan sesat dengan berbagai macam alasan-alasan yang di buat-buat oleh kelompok orang-orang salafi untuk mencari kelemahan majelis yang mulia itu.

Di bawah ini beberapa alasan yang sering mereka sebutkan terkait Majelis TAHLIL / YASINAN & HAUL:

  1. Ritual tersebut adalah perbuatan BID’AH karena Rasulullah SAW tak pernah mengajarkan atau mencontohkannya.

  2. Hadist-hadist yang digunakan membolehkan membaca tahlil / Yasin bagi orang meninggal dunia adalah berasal dari hadist dhoif.

  3. Taqlid buta (taqlid kepada orang / guru) tanpa mengetahui sumber hukumnya.

  4. Pahala bagi orang yg telah meninggal dunia tak dapat bertambah / amalannya, telah putus kecuali 3 perkara: Ilmu yg bermanfaat, amal jariyah (sedeqah) dan doa dari anak sholeh. Sebagaimana yang Rasulullah saw. sabdakan: “Jika seorang manusia meninggal dunia terputuslah amalannya keculai dari tiga perkara: ‘Shadaqah jariyah, anak sholeh yang mendoakannya dan ilmu yang bermanfaat’.”

  5. Doa dari kerabat dan saudara (muslimin) lainnya bagi sang mayit tertolak dengan berlandasakan firman Allah SWT di dalam surah An-Najm:39.

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَـٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (An-Najm:39).

Itulah beberapa alasan yang lazim/biasa di gunakan oleh kelompok yang mengaku sebagai pembawa Pembaharu Islam yang lebih dikenal dengan nama salafi untuk menyerang majelis (perkumpulan) yang mulia itu. Dan karena kedangkalan dan lemahnya pemahaman ilmu mereka dan dengan mudah pula mereka menolak segala apa yang telah disyariatkan oleh agama dan diganti oleh mereka dengan label Bid’ah dan syirik dengan alasan yang dibuat buat oleh mereka. Persoalannya adalah, apakah benar bacaan Al-Qur’an dan doa bagi orang yang bertahlil akan sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah sebagai amal pahala ataukah bacaan (hadiah pahala) tersebut tidak berguna bagi mayit dan tidak diterima oleh Allah SWT sebagai pahala bagi mayit?

Melalui artikel ini kita akan bahas secara detail Jaiz nya majelis Tahlil / Haul dan dalil-dalil serta hujjah di perbolehkannya majelis tersebut sekaligus menjawab ke 5 tuduhan dari orang-orang salafi di atas.

1. Membaca Al-Qur’an / Doa & Mengirim Pahala Doa Tersebut Kepada Mayit.

Seperti yang telah kami utarakan di atas bahwa salah satu bagian dari majelis Tahlil adalah dengan membaca Al-Qur’an dan berdoa mengirim / menghadiahi Pahala bacaan Al-Qur’an dan doa tersebut kepada mayit (arwah yang meninggal dunia), apakah bacaan Al-Qur’an baik surah Al Fatiha ataukah Surah Yasin dan surah surah lain lainnya.

Cukuplah kami menjawab semua tuduhan dan alasan mereka itu dengan Firman Allah SWT berikut.


فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُ ۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ‌ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَٮٰكُمۡ

“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”(QS Muhammad 47: 19)

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٲتَۢا‌ۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ 


“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki” (QS. Al Imran : 169)

Hidup dari maksud ayat di atas adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٲنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَـٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِى

قُلُوبِنَا غِلاًّ۬ لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ۬ رَّحِيمٌ

(١٠)


“dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hasyr 59: 10)

Sebetulnya cukuplah ke ketiga firman Allah SWT di atas menjawab semua (kelima) keraguan mereka di atas, namun kami akan ulas lebih panjang lagi bagaimana pandangan serta pendapat para ulama ke 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) terhadap Majelis Tahlil ini. Salah satu dari ke lima (5) alasan mereka di atas, bahwa doa dari kerabat atau orang lain tertolak dan tidak di terima oleh sang mayit dengan dalil di bawah ini:

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَـٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Ayat tersebut di atas digunakan oleh mereka sebagai dalil untuk mengingkari majelis Tahlil ini, namun kami akan jelaskan dengan terperinci soal ayat ini dan juga akan kami sertakan hadist-hadist yang membolehkan / memberikan hadiah pahala bagi mayit.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut (Surat An-Najm ayat 39) diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang lain, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain. Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakannya, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut (Ayat ke 39 Surat An-Najm) telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surah At-Thuur: 21.;

Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-style-parent:""; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";}

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡہُمۡ ذُرِّيَّتُہُم بِإِيمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِہِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَىۡءٍ۬‌ۚ كُلُّ

ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬

(٢١)


“dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (At-Thuur 52:21)

Maksud ayat di atas adalah: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan Allah derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga. Bahkan Menurut ar-Rabi’, yang dimaksud oleh Firman Allah, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39), yang dimaksudkan adalah “Orang Kafir”. Sedangkan orang mukmin selain memperolah apa yang diusahakannya sendiri, juga memperoleh apa yang diusahakan orang lain.

Jika mereka masih menolak dengan pendapat para Imam terdahulu yang mana derajat dan kefaqihan ilmunya melebihi mereka (kelompok yang menolak) maka kami menganjurkan mereka untuk membaca Surah An-Najm tersebut pada 3 ayat sebelum ayat 39, yakni ayat 36, 37, 38 pada surah An-Najm tersebut.

أَمۡ لَمۡ يُنَبَّأۡ بِمَا فِى صُحُفِ مُوسَىٰ (٣٦)

وَإِبۡرَٲهِيمَ ٱلَّذِى وَفَّىٰٓ (٣٧)

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ۬ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ (٣٨)

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَـٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ (٣٩)

36. Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?
37. Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?
38. (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
39. Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan. (QS An-Najm 53: 36-39)

Yang mana syariat pada ayat di atas (Surah An-Najm ayat 36-39) di atas di khususkan untuk ummat Nabi Musa a.s dan Nabi Ibrahim as. dan ayat tersebut bukan untuk syariat ummat Nabi Muhammad saw. Dan kami sarankan kepada mereka untuk dapat melihat isi ayat dan makna ayat secara keseluruhan (dhahir maupun makna) ayat tersebut dan bukannya hanya sebagian-sebagian saja.

Sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW: "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka”. Naudzubilamindzalik

Pengiriman hadiah pahala bagi mayit ini sunnah secara syariat sebagaimana Rasulullah saw. mencontohkan dan membolehkannya, ketika salah seorang yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya tentang suatu hal sebagaimana teriwayat dalam hadist berikut:

  • Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

  • Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]

Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si mayit namun jelas sekali kejadian di atas adalah ketika orang tua dari sang lelaki itu telah meninggal, bukan ketika orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan pahalanya bagi orang tua mereka.
Jadi jelaslah bahwa sang anak mensedeqahkan harta dari orang tuanya dan mengirim/ menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah meninggal dunia.

Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan Al-Qur’an, doa dan sedeqah adalah dari hadist-hadist berikut ini :

  • Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing-masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: “Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad” sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.

  • Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.

  • “Dengan nama Allah ! Ya Allah terimalah kurbanku dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dari umat Muhammad”. (HR.Muslim, lihat Shahih Muslim XIII, hal.122). Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi berkurban yang pahalanya untuk beliau, dan sebagian diberikan untuk keluarga beliau, dan sebagian diberikan untuk umat Beliau SAW.

  • Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”

  • Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
  • Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
  • Abdul Aziz menuturkan hadis dari Anas ibn Malik r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang memasuki kuburan, lalu ia membaca Surah Yasin, Allah akan memberikan keringanan kepada mereka, sedangkan dia akan memperoleh kebaikan sejumlah penghuni kubur yang ada disana.”

  • Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit.”

  • Dari dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, oleh Abu Dawud, An-Nasai dan di benarkan oleh Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:”Bacalah Yasin bagi orang-orang yang telah wafat di antara kalian”.

  • Al-Baihaqiy di dalam Sya’bul-Iman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al-Jami’ush-Shaghir dan Misykatul-Mashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin semata-mata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”

  • Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At-Tadzkirat Bi Ahwali al-Mauta wa Umur al-Akhirat.

Hadits-hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala baik sedeqah, bacaan Al Qur’an dan mendoakan bagi mayit.

Imam Muhibbuddin Ath-Thabari berkata:”Arti mayit adalah seseorang yang telah di cabut nyawanya adapun yang menyatakan arti mayit adalah orang yang sekarat, pendapat ini tidak berdalil.”

Mengenai hadist membacakan Yasin, Imam Ahmad menyatakan dalam musnadnya: “Dari Abu Mughirah berkata: “Sofyan yaitu Ibnu Amru berkata kepadaku: “Para guru besar bercerita kepadaku: “Bahwa mereka pernah mendatangi Adhif bin Harits Ats-Tsimali saat beliau sedang sekarat, lalu beliau berkata: “Apakah di antara kalian ada yang mau membaca Yasin?,” kemudian Saleh bin Syuraih As-Sukuni mulai membacanya sampai berulang kali, ketika mencapai pada hitungan keempat puluh Adhif meninggal dunia, mereka para guru besar berkata; “Jika surat Yasin dibacakan pada orang yang sekarat ia akan diringankan bebannya berkat surat Yasin. (disebutkan dalam kitab Fathur Rabbani 18/253).” Adhif ini ada yang menyatakan ia seorang sahabat, ada yang menyatakan ia seorang tabi’in tetapi yang benar adalah pendapat pertama, selain itu juga dinyatakan dalam kitab Al-Isabah: “Hadist dengan sanad yang hasan.”)

Ibnu Hibban meriwayatkan dalam shahinya dari Jundub bin Abdillah ra. berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Surat Al-Baqarah adalah puncak tertinggi Al-Qur’an, setiap ayat yang diturunkan disertai oleh delapan puluh malaikat, sedangkan ayat kursi dikeluarkan dari perbendaharaan Arasy dan digabung dengannya, sedangkan surat Yasin adalah inti Al-Qur’an tidaklah seseorang membacanya hanya karena Allah dan akhirat melainkan ia diampuni dan bacalah Yasin untuk orang-orang yang telah meninggal diantara kalian.” (HR. Ibnu Hibban, HR. Ahmad dalam musnadnya V/26)

Penulis Musnad Firdaus menyebutkan hadist sanadnya kepada Abu Darda ra. :”setiap mayit yang dibacakan surat Yasin untuknya, maka Allah akan meringankan bebannya.” (Musnad Firdaus IV/32)

Mengenai hadist, “Bacakanlah Surah Yasin untuk orang yang meninggal dunia.” Al Imam Qurthubi mengatakan bahwa hal ini mencakup bacaan ketika orang akan mati dan juga bacaan di kuburannya.

Lebih lanjut lagi Al Imam Qurthubi mengatakan, bahwa pernah juga dikatakan, bagi pembacanya akan mendapatkan pahala bacaan Al-Qur’an itu, sedangkan bagi orang yang sudah meninggal akan mendapatkan pahala karena mendengarkan. Allah SWT berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ ٱلۡقُرۡءَانُ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُ ۥ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ (٢٠٤)

“Apabila dibacakan Alquran, dengarkanlah baik baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat”. (QS : al-A’raf:204)

Maksudnya: jika dibacakan Al Quran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran.

Selanjutnya Al-Imam Qurthubi mengatakan, “Diantara kemurahan Allah SWT adalah ketidakmustahilan bagi-Nya untuk memberikan pahala bacaan Alquran dan pahala mendengarnya sekaligus, serta menyampaikan pahala yang diniatkan untuk diberikan kepada orang yang sudah meninggal, meskipun orang itu tidak mendengar; seperti, misalnya, sedekah dan doa.”


Share this Article on :

15 komentar:

danang said...

artikelnya kok masalah khilafiyah melulu, kayak gak ada kemajuan umat. saya saran agar artikel yg dimuat lbh ke solusi umat.

Computer info said...

Suka-suka dong, kalau ga suka baca ga usah komentar. Soal kemajuan umat kami langsung turun ke lapangan tak hanya sekedar teori. Dan sekarang ini sesuatu yang benar sudah dianggap bid'ah, dan kami dianggap ahli bid'ah, padalah mereka ga labih baik keadaannya

Unknown said...

Terlalu banyak qiyas, padahal tidak ada qiyas dalam ibadah.

Kalau seorang muslim meninggal maka yang harus dilakukan memandikan, menshalatkan dan menguburkan. Itulah syariat nabi, kenapa sering kita melakukan ibadah seperti tahlilan tapi dalilnya cuma qiyas dari beberapa hadis dan ayat qur'an yang konteksnya bukan untuk amalan itu.

Juga artikelnya banyak makai hadis yang nggak jelas, siapa periwayatnya diambil dari kitab mana dan derajat hadisnya.

HAti2 dengan hadis dhaif apalagi palsu.

Windu said...

Waduh, memang hukum yang menggunakan qiyas itu hanya teman-teman pengikut ahlussunah wal jama'ah saja, jadi tentu saja orang-orang yang diluar paham tersebut tidak akan memakainya. Bahkan ada lho yang hanya menggunakan Al Qur'an saja dan ingkar terhadap semua hadits. Jadi ga perlu dipikirin, kami sudah tahu mana hadits shohif mana yang dhoif karena kami bersumber pada ulama yang benar-benar ahli hadist seperti Imam Syafi'i maupun Imam Hambali, dan kami sama sekali tidak mengambil hadist dari majalah atau tabloit

Anonymous said...

bagi yang belum tahu macam2, pembagian hadis dsb belajar dulu lah biar semua mengerti jangan asal usil sok tahu mengklaim hadis lemah, palsu. hadits lemah, palsu aja belum tahu. wes muni menyalahkan. kita masih perlu mengkaji ilmu2 hadits mas..., bagi yang tahlilan monggo.. itu juga ada dasarnya bagi yang tidak suka jangan ganggu instropeksi diri sudahkah baik menjalankan perintahNya... jangan Al-Qur'an doang tidak mau pendapat para ulama, maunya apa... semua harus berjalan dengan Al-Qur'an hadist. salam perdamaian

Anonymous said...

siapa yang nolak tahlilan dosa, bi'ah kemukakan dengan jelas buktikan haditsnya Al-Qur'annya, jangan hanya dengan nafsu. kalo yang nolak kaum wahabi maklum memang tidak suka semacam ini, mereka tidak suka keturunan, keluarga nabi makanya mereka membunuh para nabi dengan tidak bertanggung jawab. membunuh disini memiliki dua arti membunuh dengan sesungguhnya dan membunuh dengan cara menghapu dan meninggalkan amalan2 sunah2 nabi....

Anonymous said...

sudahlah yang kayak begitu kita salig menghormati jangan saling mengklaim Allah hanya menerima amalan dan perbuatan yang baik. seperi menyebut nama Allah, sholawat, tahlil (Laa ilaaha illallah) dan kalimat toyyibah dan amalan lainnya yang sholeh menurut aku sebuah amalan yang amat baik disisi Allah Insya Allah marilah kita amalkan semoga Allah memberikan rahmat untuk kita semua. amiin

Anonymous said...

jangan heran masalah seperti ini tidak akan ada habisnya jika tidak ada rasa tenggang rasa satu sama lainnya saling menghargai, menghormati yang perlu kita perbanyak amal ibadah, baik yang horissontal maupun yang vertikal (baik kepada Allah dan kepada sesama atau sosial)

Anonymous said...

masalah ini bisa kita baca dalam artikel islam salah satunya adalah klik aja ini : http://www.ustsarwat.com/web/syariah.php di web ini ada berbagai macam tanya jawab mengenai masalah agama. selamat membaca

Masnun Tholab said...

Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan”

Masnun Tholab said...

Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ "
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”

Masnun Tholab said...

Al-Bakri Dimyati Asy-Syafi’i Dalam Kitab I’anatut Thalibin menguraikan :
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل. ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk berta’ziyah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit – walau tetangga jauh – dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan haram membari makan kepada wanita yang meratap, karena hal tersebut membantu perbuatan maksiat.

sockhel said...

IKHTILAF DI ANTARA UMATKU ADALAH RAHMAT....BIARKAN AJA SELAMA KAGA BERSALAHAN DAN MENYIMPANG...KECUALI JELAS2 BERBUAT SYIRIK...KALU APA2 DI BILANG BID'AH DAN YANG MELAKUKANNYA SYIRIK MAKA SEDIKIT BANGET UMAT ISLAM YANG ADA DI BUMI ANI....YANG JELAS LIAT AJA GIMANA AKHIR HAYAT ITU ORANG BARU KETAWAN DIA ORANG BAIK ATAU BUKAN...PISS AHH DEBATIN MASLAH AGAMA KGA ABIS2...MANA YANG NAMANYA KEBAIKAN JALANIN AJA YANG PENTING HARUS BERBEKAL ILMU....OK

Poetra said...

Kotareyog Ponorogo juga telah mempersiapkan se-Rangkaian Acara Harlah GP ANSHOR ke 78 – Jalan Santai Unik & Nyentrik Sarungan Bersama GUS Ipul (Wakil Gubernur Jatim)
http://www.gasud.com/2012/04/rangkaian-acara-harlah-gp-anshor-ke-78.html
dengarkan live streaming Radio Aswaja Fm Ponorogo melalui weblog tersebut atrau melaluia situs resmi kami di http://aswajafm.com

Anonymous said...

Dalam QS Al Maidah disebutkan bahwa agama islam ini telah sempurna,..jadi tidak perlu ditambah-tambahi.
Kemudian pada saat haji wada Rosululloh saw menengadah ke langit dan berkata kurang lebih" apa yang diperintahkan telah aku sampaikan, dan yang dilarangpun telah aku sampaikan,.. Engkau saksinya, dan kaum mukminin-pun saksinya.
Jadi dengan apa yg saudara anggap sbg ibadah tambahan itu (tahlilan), maka saudara telah menuduh bahwa rosul berdusta, karena ternyata menurut saudara, ada syariat yg belum disampaikan oleh rosul saw, yakni tahlilan...masyaallah. Dan Saudarapun secara tidak langsung menuduh para sahabat menyembunyikan ilmu /syariat yakni dengan TIDAK PERNAH mengadakan tahlilan.

Post a Comment

 

© Copyright GP. ANSOR - FATAYAT NU KEC. PIYUNGAN 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.